Ketua WTT Martono mengatakan aksi mogok makan yang dilakukan 10 orang perwakilan warga terdampak akan dilakukan selama 15 hari. Dari aksi itu, ia berharap Pemerintah DIY tak melanjutkan rencana pembangunan bandara dengan membatalkan izin penatapan lokasi (IPL).
"Ini penolakan kami. Akan kami lakukan sampai 2 November nanti. Sampai pingsan. Kalau tensi sudah 60 kan pingsan," ujar Martono.
Martono mengatakan, aksi tersebut juga sebagai respons terhadap pemerintah Kulon Progo, dalam hal ini Bupati Hasto Wardoyo, yang hingga kini menyetujui rencana pembangunan itu. Padahal, pihak pemerintah setempat belum pernah mendatangi langsung warga terdampak.
"Hanya satu kata, pindahkan bandara baru ke tempat lain," ujarnya.
Ia mengklaim jika mayoritas warga di lokasi rencana pembangunan menolak proyek itu. "Gubernur tidak membuka hatinya bahwa warga menolak dengan tulus," katanya.
Juru bicara WTT Agus Subiyanto mengungkapkan bentuk penolakan tak hanya dilakukan sebatas aksi di depan kantor pemerintahan. Bahkan, ia bersama warga lain akan melakukan penutupan jalan sepanjang tiga kilometer di dekat lokasi megaproyek itu.
"Penutupan jalan dilakukan mulai dari depan Balai Desa Gagah sampai depan Gereja Palihan. Kita pilih lokasi itu karena cukup ramai namun tak merepotkan pengguna jalan," ujarnya.
Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana menerima aspirasi masyarakat penolak rencana pembangunan bandara. Sebagai tindak lanjut, pihaknya akan lebih dulu melakukan rapat dengan fraksi mengenai permintaan warga untuk membatalkan IPL.
"IPL ini sudah masuk jalur hukum. Kita tidak masuk ke sana. Tapi kita akan adakan pertemuan dengan fraksi nanti," ungkapnya.
IPL pembangunan bandara Kulon Progo sebelumnya telah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang dimenangkan warga. Kalah di PTUN, Pemerintah DIY mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan dikabulkan. Hingga kini, warga Kulon Progo bersama pendamping hukum berkukuh proyek itu telah melanggar RTRW Nasional maupun provinsi.
SAN