Mantan Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT), Purwinto, 68, mengatakan para warga yang terdampak proyek pembangunan bandara sudah puluhan bertani di kecamatan tersebut. Kegiatan pertanian berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka.
"Sudah sejak kakek moyang dulu bertani. Lahannya milik pribadi. Waktu zaman penjajahan ditutup, tapi setelah sudah merdeka dibuka," kata Purwinto, Jumat (23/10/2015).
Para petani biasanya menanam beragam jenis tanaman palawija di lahan tersebut. Misalnya cabai, jagung, sayuran, hingga ketela pohon.
Petani yang menanam cabai di lahan seluas seperempat hektare dapat memanen komoditas itu hingga 40 kuintal. Harga cabai rata-rata Rp50 ribu per Kg. Bila dikalkulasikan, petani dapat memeroleh Rp15 juta hingga Rp20 juta dalam sekali masa tanam.
"Dari ini, kami sudah bisa mengangkat harkat dan martabat kehidupan kami," ujarnya.
Dengan penghasilan itu, pemilik lahan dapat membayar buruh petani. Ditambah lagi, buruh tani datang dari luar wilayah.
"Pemerintah seperti enggak mau tahu kondisi yang sebenarnya seperti apa di lapangan. Kalau di bangun bandara, bukan cuma petani yang hilang pekerjaan, tapi juga buruh tani," ungkapnya.
Di lain tempat, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Kulonprogo Astungkoro mengklaim sudah menghitung hal tersebut. Pemerintah setempat dan Angaksa Pura menyiapkan kompensasi untuk warga terkena dampak pembangunan bandara.
"Kami berupaya sama-sama melihat hak. Kami akan memfasilitasi pekerjaan penggantinya, misalnya ingin membuat bengkel. Akan difasilitasi," ungkap Astungkoro.
RRN